Perlu waktu sehari semalam untuk mengendapkan amarah dan kemudian berpikir jernih sehingga bisa menuliskannya di sebuah tulisan. Lagi lagi sebuah proses pembelajaran dalam menjalani hidup ini. Tidak berharap ada yang membaca note ini, hanya curhatan diriku yang ingin aku dokumentasikan.
Selasa 21 Februari 2012, seusia kelasnya ibu guru memberikan informasi bahwa hari itu Balqiz terlihat sangat kelelahan dan batuknya terlihat semakin mengganggu. Ya, Balqiz memang sedang batuk. Dalam periode Januari Februari sudah 3 kali berkunjung ke dokter dan dihantam oleh obat obatan. Sebenarnya tidak hanya Balqiz, namun Alifah dan aku sendiri juga bergantian saja batuk dan pilek. Rasanya badan memang tidak benar benar fit dalam dua bulan ini. Kemungkinan faktor cuaca yang tidak nyaman saat ini disamping faktor kelelahan.
Setelah makan siang dirumah, Balqiz aku minta masuk kamar buat istirahat. Dan tidak lama berselang aku lihat Balqiz sudah tertidur. Sebenarnya jika Balqiz tidur siang, aku tidak pernah merasa senang. Karena bukan kebiasaan Balqiz untuk bisa tidur siang, seolah energinya tidak pernah habis. Jadi kalau dia sampai tidur siang, memang dia merasa sangat lelah atau badannya tidak sehat. Saat itu sebenarnya buat aku selalu bikin deg-deg-an. Kekuatiran dirinya mengalami kejang selalu menghantui. Mengukur suhunya tidak terlalu mengkuatirkan, 37,8 namun kakinya terasa dingin sehingga segera aku bungkus dengan kaos kaki. Jadilah emak menjelma satpam yang mengawasi tidurnya. Dan memutuskan sorenya kembali absen ke dokter Idham di rsia Hermina Jatinegara, dokter anak yang merawat Balqiz sejak lahir.
Suasana rs hari itu ramai sekali, aku sudah berusaha datang lebih awal agar bisa mendapat nomer panggil awal guna mengantisipasi kondisi Balqiz tidak tantrum tetapi tidak berefek banyak. Karena memang sedang banyak pasien. Sempat membatin sendiri,.. duh ini rumah sakit kok sudah seperti pasar ya ramainya. Segala macam cara aku lakukan untuk mengalihkan perhatian Balqiz akan keramaian yang ada di sekitarnya. Dari yang berusaha mencari tempat duduk yang agak terpisah, membunyikan berbagai bunyi bunyian ditelpon seluler, hingga membuka netbook ku stay tune di youtube bersama ‘timmy time’ dan ‘upin ipin’ yang menjadi favorite Balqiz. Namun tetap saja pada akhirnya kebosanan mulai melanda Balqiz. Mulailah dia berdiri dan loncat loncat dilanjutkan berjalan mondar mandir sembari berceloteh bertanya ini itu. Tidak jarang langkahnya membentur tembok, kursi atau tangannya tersentuh kepada orang yang ada disekitar.
Sepanjang masih happy dan tidak mengganggu, aku masih mengawasinya beberapa langkah dibelakangnya sembari berulang kali meminta maaf kepada orang orang yang tertabrak atau tersentuh Balqiz. Berbagai macam reaksi yang aku peroleh. Ada yang tersenyum memaklumi, ada yang hanya melirik, ada yang memperlihatkan ekspresi tidak senang karena merasa terganggu. Aku masih tidak peduli sepanjang Balqiz masih oke oke saja dan tidak menunjukkan tanda tanda ‘tantrum’.
Hingga akhirnya pada saat aku harus antri di kasir, dimana cukup panjang antrian di depanku, masih ada sekitar 4-5 orang. Balqiz merasa bosan dan terikat karena aku memegang tangannya erat dan melarangnya bergerak menjauh dariku. Protes mulai dilayangkan, mulai dari berteriak, mencoba melepaskan pegangan tangan, hingga akhirnya meronta ronta.
Akhirnya membuat aku keluar dari antrian yang sudah susah payah aku jalani. Mencoba menenangkan Balqiz, memeluknya dan berbisik di telinganya. Cukup lama aku memeluknya barulah Balqiz mulai tenang dan kemudian menerima penjelasan dan menerima tawaran ‘reward’ yang akan dia terima jika Balqiz mau bantu ibu untuk antri di kasir.
Sesaat mengambil barisan di antrian baru, seorang ibu menarik tangan kiriku. Rupanya beliau sudah cukup lama mengamati kami berdua.
“bu, thu anaknya ngeliatnya pake apa?”
“emang gak diobatin bu?
Terkesima atas teguran beliau membuatku tidak bisa berkata apa apa, terlebih kemudian perhatianku terpecah mengkuatirkan Balqiz yang mulai berdiri dengan gelisah.
Seketika dikuasai amarah yang membara yang membuatku beberapa detik terdiam dan terpaku. Pelukan tangan kananku pada badan Balqizlah yang masih bisa membuatku ‘waras’ dan menyadari sedang berada di tempat umum.
Yang bisa aku lakukan hanya menepis tangan beliau dan melangkahkan kakiku maju ke meja kasir dimana giliranku untuk membayar sudah tiba. Komat kamit dalam hati menyuarakan mantera ‘sabar im, tenang im, kuat im, inget ada Balqiz, anggap aja orang gila’, dan sebagainya.
Tantangan membawa ABK keluar dari rumah dan berada di tempat umum atau keramaian sebenarnya bukan pada diri ABK-nya saja tetapi juga merupakan tantangan dan uji mental bagi keluarga.
Harus di akui masih banyak keluarga yang memiliki ABK lebih memilih untuk meninggalkan ABK-nya dirumah pada saat harus keluar rumah. Berbagai alasan akan dikemukakan, intinya sebenarnya keluarga belum siap menerima berbagai reaksi dari masyarakat akan keberadaan ABK-nya.
Pada saat ABK masih kecil, kondisi kekhususannya masih bisa di ‘sembunyikan’ dengan menempatkannya di stroller atau menggendongnya. Namun apabila anak sudah mulai besar tentunya hal tersebut sudah sulit dilakukan. Keberadaan ABK di tempat umum sudah pasti akan menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Sebenarnya, aku orang yang kuat mental membawa Balqiz ke tempat umum. Dan biasanya sudah mati rasa bin masa bodoh dengan berbagai mata yang memandang kami, sudah biasa menerima penolakan akan keberadaan kami. Namun, aku juga bukan superwoman yang hatinya terbuat dari baja. Aku tetap manusia biasa. Yang mempunyai kondisi emosi juga gak selalu stabil.
Jika saat itu situasinya nyaman, Balqiz juga tidak tantrum, berbagai pertanyaan dari A-Z pun akan aku ladeni dan dengan senang hati aku akan berbagi. Namun kondisi saat itu benar benar dalam situasi yang tidak nyaman, aku sendiri sedang capek, tidak sehat juga, sedang berusaha menenangkan anak yang tantrum, so… feedback apa yang bisa diharapkan dari sebuah sapaan yang terdengar ‘menghakimi’?
Dalam kondisi tenang dan nyaman, aku akan bisa menjelaskan bahwa Balqiz melihat dengan menggunakan semua panca indera yang dimiliki kecuali matanya, dan upaya pengobatan yang kami upayakan sudah maksimal yang bisa kita, selaku orangtuanya, lakukan. Orangtua mana sih yang tidak melakukan ‘apa-apa’ demi buah hatinya?
Peristiwa ini membuatku teringat akan sebuah pertanyaan dari seorang sahabat,..
‘Bun, sebaiknya kita thu harus bersikap bagaimana jika menghadapi ABK dan keluarganya’
‘Apa yang bunda inginkan dari kita kita ini jika menghadapi ABK?’
Pertanyaan itu sempat terlontarkan namun rasanya memang saat itu aku belum menjawabnya. Dan situasi yang baru aku alami ini membuatku kembali teringat.
Sebenarnya tidak banyak yang kami harapkan dari orang-orang sekitar saat kami berada di ruang publik. Berikan kami kesempatan dan privacy yang sama dengan orang-orang memberikannya pada orang-orang lain. Kami juga bagian dari orang-orang itu dan bukan makhluk aneh yang harus ditatap dari ujung kepala hingga kaki, dan jika ingin menyapa, bertanya, berkenalan sebenarnya kami juga akan dengan senang hati menyambut, hanya mungkin juga lihat kondisi kami jika ABK yang kami bawa dalam kondisi tenang, tidak dalam kondisi yang kita sedang mencoba menenangkan atau berusaha membuat nyaman sang ABK. Dan tentunya sapaan serta pertanyaan yang baik dan sopan tidak menyakiti atau menghakimi kami.
Dan satu hal yang perlu juga menjadi peer bagi para orangtua, mengedukasi anak-anak bahwa diantara mereka banyak juga anak anak yang memiliki kebutuhan khusus, sehingga anak anak tidak perlu merasa takut atau heran atau memandang ABK dengan tatapan yang seolah olah ABK berasal dari ruang angkasa. Kebanyakan orangtua jika mendapat anaknya sedang memperhatikan atau menatap seorang ABK yang berada di ruang publik, biasanya akan membentak dan menarik tangan sang anak guna menjauh. Buat sang anak malah akan semakin penasaran, dan buat kami akan membuat diri dianggap sesuatu yang ‘aneh’ yang harus dijauh, dihindari.