Wednesday, June 18, 2014

Diantara dua rasa “Marah vs Sedih”



Pernah merasakan amarah memuncak sekaligus sedih yang nelangsa? Itu yang sedang aku rasakan. Butuh beberapa hari untuk bisa mengendapkan emosi tersebut dan akhirnya bisa menuangkan menuliskannya. Sebenarnya ingin skip saja mengabaikannya dan tidak ingin mengingatnya lagi. Namun karena sarat akan banyak proses pembelajaran, aku coba untuk menuliskannya dan semoga bisa menjadi bahan perenungan.

Teman, sahabatku sekalian… sudahkah kalian membekali ananda tercinta dengan pembekalan beragamnya orang yang ada disekitar kita. Tidak hanya sekedar kaya/ miskin saja. Namun ada penyandang tunanetra, tunadaksa, tunarungu, penyandang cerebral palsy, autism, tunagrahita dan sebagainya. Mereka ada di sekitar kita dan merupakan bagian dari masyarakat. Ada yang masih anak-anak, ada yang sudah dewasa, dan banyak juga yang mempunyai prestasi membanggakan. Sudahkah?

Oke, buat kalian adalah kondisi normal. Dan buat kalian semua kami adalah warga ‘cacat’ atau istilah keren disabilitas/ anak berkebutuhan khusus. Whatever-lah about ‘name’… tetap saja adalah sebuah ‘perbedaan’ kondisi.

Tidak banyak kan yang sudah mulai membekali ananda tentang hal tersebut. Dan kebanyakan yang sudah membekali biasanya adalah orang-orang yang sudah pernah berinteraksi/ kenal secara pribadi dengan sang penyandang disabilitas.

Nah bagaimana dengan potret masyarakat secara umum? Ini ceritaku,..

Minggu sore, 8 Juni 2014, kita sekeluarga jalan-jalan ke sebuah mol di wilayah Cibubur, selain memang ada keperluan yang dicari, juga nuntasin janji ayah buat angon bocah. Dan kalau ke mol sudah pasti si kembar pengen main di playzone. Bukan ibuk kalo gak pake urusan ‘make a deal’ dengan berbagai persyaratan ini itulah. Akhirnya diperoleh kesepakatan mereka boleh bermain hanya 1 permainan, yakni kereta api yang rutenya berkeliling di satu lantai mol tersebut.

Si kembar naik ke salah satu gerbong kereta dengan riang, selain itu ada seorang anak laki-laki usia sekitar 5th, juga berada dalam gerbong yang sama. Setelah kereta melaju jalan, si ayah pamit mau ada yang dicari di toko sport. Okeeee…. Si ibuk juga gak mau kalah, melipir window shopping di sekitar area pemberhentian kereta jadi masih bisa memantau kondisi.

Saat 1 putaran, kereta lewat, melihat dari jauh hanya tampak punggung si kembar dan sempat membatin… kok si adek ma kakak duduknya mojok serta  tangan kakak alifah terlihat merangkul pundak adek acis, sementara si anak kecil duduk di depan acis menghadap acis, ada apa ya?

Jelang kereta berhenti, ibuk sudah berdiri kembali di area stasiun kereta, dan saat alifah dan balqiz turun ternyata balqiz sedang nangis kejer beruraian air mata….. dan si masinis yang membantu membuka kunci pintu gerbon sampai kaget dan bingung, bertanya juga ke balqiz, ada apa kenapa menangis, sementara si anak kecil satu lagi sudah berlari entah kemana.

Memeluk balqiz dengan segera, dan meminta alifah menunggu disisiku.
sakit ibuuuukkk….’ Teriak balqiz, barulah aku perhatikan wajah balqiz… Ya Allah….. di pipi kiri tepat di bawah matanya tampak bekas cakaran memerah memanjang….

periiiihhh…. Ibukkk… sakit..” teriak balqiz kembali. Tangisannya yang benar-benar sedih. Karena balqiz bukan tipikal anak yang gampang menangis tanpa sebab dan jika sampai menangis ya memang karena apa yang dialami memang menyakitkan.

Mengajak mereka duduk di bangku terdekat, menginterogasi si kakak mengenai apa yang terjadi, karena balqiz belum bisa ditanya, hanya menangis, si kakak bercerita kalau adeknya dicakar sama anak kecil tadi. Daaaannn… aku baru nyadar ternyata si anak kecil itu sudah berdiri lagi di depan kami. segera aku tanya, ke anak tersebut

benar kamu cakar?
iyaaa… soalnya dia gak bisa liat sih

Gubrak!!! Mendengar alasan yang keluar, itu seperti melemparkan batang korek api yang nyala ke tumpahan minyak. Meteran amarah langsung naik ke ubun-ubun dan sekaligus batin ini menangis.

kamu gak boleh sembarangan cakar anak lain ya, mama kamu mana?’ ditunjuk oleh anak tersebut seorang ibu ibu muda yang tengah ngobrol tertawa-tawa entah dengan rombongannya.

Wesssssssssss segera aku dudukkan alifah dan balqiz dan berpesan tidak beranjak dari duduk, aku gandeng si anak itu dan menghampiri si ibu.

Gak pake ba bi bu…, mengaumlah sang singa ibuk menumpahkan emosi jiwa. Dan saat si orangtua bertanya kepada si anak pun jawaban yang sama terlontar oleh anak. Hikssss……

Langsunglah si ibuk ini menyambung ceramah, bahwa perlunya orangtua memberi pemahamam kepada anak mengenai berbedaan. Dan apapun kondisi seseorang bukan berarti juga bisa melakukan perbuatan semena-mena. Andai dibalik kondisinya, tiba-tiba si anak dicakar tanpa sebuah kesalahan diperbuat, hanya dikarenakan sebuah kondisi yang disandang apakah rela sang orangtua?

Mendidik anak bisa dikatakan mudah, bisa dikatakan sulit. Anak ibarat kanvas kosong yang siap diisi oleh orangtuanya. Selain memenuhi kebutuhan dasar anak, yang saat ini rupanya terlupakan oleh banyak orangtua muda adalah pengantar budi pekerti.

Aku sendiri juga belum sepenuhnya ‘berhasil’ mengisi si kembar, namun paling tidak mereka mengerti bahwa tidak boleh menyakiti orang/ anak lain. Mereka mengerti bagaimana berteman yang baik selayaknya anak-anak.

Buat aku excuse ‘namanya juga anak-anak’ tetap gak masuk akal. Apakah kegiatan mencakar adalah bagian dari proses pertemanan?

Apakah karena sebuah dasar ‘perbedaan’ atau ‘ketidaknormalan’ sehingga bisa dan dibenarkan melakukan tindakan semena-mena?

Yuk, temans, sahabat tercinta… bekali ananda dengan pembekalan mengenai perbedaan. Kami ada diantara kalian, kami tidak minta diistimewakan, hanya beri kami ruang yang sama dengan kalian.