Pernah
merasakan amarah memuncak sekaligus sedih yang nelangsa? Itu yang sedang aku
rasakan. Butuh beberapa hari untuk bisa mengendapkan emosi tersebut dan
akhirnya bisa menuangkan menuliskannya. Sebenarnya ingin skip saja
mengabaikannya dan tidak ingin mengingatnya lagi. Namun karena sarat akan
banyak proses pembelajaran, aku coba untuk menuliskannya dan semoga bisa
menjadi bahan perenungan.
Teman, sahabatku sekalian… sudahkah
kalian membekali ananda tercinta dengan pembekalan beragamnya orang yang ada
disekitar kita. Tidak hanya sekedar
kaya/ miskin saja. Namun ada penyandang tunanetra, tunadaksa, tunarungu,
penyandang cerebral palsy, autism, tunagrahita dan sebagainya. Mereka ada di
sekitar kita dan merupakan bagian dari masyarakat. Ada yang masih anak-anak,
ada yang sudah dewasa, dan banyak juga yang mempunyai prestasi membanggakan. Sudahkah?
Oke, buat kalian adalah kondisi normal. Dan buat kalian semua kami adalah warga ‘cacat’ atau istilah keren disabilitas/ anak berkebutuhan khusus. Whatever-lah about ‘name’… tetap saja adalah sebuah ‘perbedaan’ kondisi.
Tidak
banyak kan yang sudah mulai membekali ananda tentang hal tersebut. Dan
kebanyakan yang sudah membekali biasanya adalah orang-orang yang sudah pernah
berinteraksi/ kenal secara pribadi dengan sang penyandang disabilitas.
Nah
bagaimana dengan potret masyarakat secara umum? Ini ceritaku,..
Minggu sore, 8 Juni 2014, kita sekeluarga jalan-jalan ke sebuah mol di wilayah Cibubur, selain memang ada keperluan yang dicari, juga nuntasin janji ayah buat angon bocah. Dan kalau ke mol sudah pasti si kembar pengen main di playzone. Bukan ibuk kalo gak pake urusan ‘make a deal’ dengan berbagai persyaratan ini itulah. Akhirnya diperoleh kesepakatan mereka boleh bermain hanya 1 permainan, yakni kereta api yang rutenya berkeliling di satu lantai mol tersebut.
Si
kembar naik ke salah satu gerbong kereta dengan riang, selain itu ada seorang
anak laki-laki usia sekitar 5th, juga berada dalam gerbong yang
sama. Setelah kereta melaju jalan, si ayah pamit mau ada yang dicari di toko
sport. Okeeee…. Si ibuk juga gak mau kalah, melipir window shopping di sekitar
area pemberhentian kereta jadi masih bisa memantau kondisi.
Saat
1 putaran, kereta lewat, melihat dari jauh hanya tampak punggung si kembar dan
sempat membatin… kok si adek ma kakak duduknya mojok serta tangan kakak alifah terlihat merangkul pundak
adek acis, sementara si anak kecil duduk di depan acis menghadap acis, ada apa
ya?
Jelang
kereta berhenti, ibuk sudah berdiri kembali di area stasiun kereta, dan saat
alifah dan balqiz turun ternyata balqiz sedang nangis kejer beruraian air
mata….. dan si masinis yang membantu membuka kunci pintu gerbon sampai kaget
dan bingung, bertanya juga ke balqiz, ada apa kenapa menangis, sementara si
anak kecil satu lagi sudah berlari entah kemana.
Memeluk
balqiz dengan segera, dan meminta alifah menunggu disisiku.
‘sakit ibuuuukkk….’ Teriak balqiz,
barulah aku perhatikan wajah balqiz… Ya Allah….. di pipi kiri tepat di bawah
matanya tampak bekas cakaran memerah memanjang….
“periiiihhh…. Ibukkk… sakit..” teriak
balqiz kembali. Tangisannya yang benar-benar sedih. Karena balqiz bukan tipikal
anak yang gampang menangis tanpa sebab dan jika sampai menangis ya memang
karena apa yang dialami memang menyakitkan.
Mengajak
mereka duduk di bangku terdekat, menginterogasi si kakak mengenai apa yang
terjadi, karena balqiz belum bisa ditanya, hanya menangis, si kakak bercerita
kalau adeknya dicakar sama anak kecil tadi. Daaaannn… aku baru nyadar ternyata
si anak kecil itu sudah berdiri lagi di depan kami. segera aku tanya, ke anak
tersebut
‘benar kamu cakar?’
‘iyaaa…
soalnya dia gak bisa liat sih’
Gubrak!!!
Mendengar alasan yang keluar, itu seperti melemparkan batang korek api yang
nyala ke tumpahan minyak. Meteran amarah langsung naik ke ubun-ubun dan
sekaligus batin ini menangis.
‘kamu gak boleh sembarangan cakar anak lain
ya, mama kamu mana?’ ditunjuk oleh anak tersebut seorang ibu ibu muda yang
tengah ngobrol tertawa-tawa entah dengan rombongannya.
Wesssssssssss
segera aku dudukkan alifah dan balqiz dan berpesan tidak beranjak dari duduk,
aku gandeng si anak itu dan menghampiri si ibu.
Gak
pake ba bi bu…, mengaumlah sang singa
ibuk menumpahkan emosi jiwa. Dan saat si orangtua bertanya kepada si anak pun
jawaban yang sama terlontar oleh anak. Hikssss……
Langsunglah
si ibuk ini menyambung ceramah, bahwa perlunya orangtua memberi pemahamam
kepada anak mengenai berbedaan. Dan apapun kondisi seseorang bukan berarti juga
bisa melakukan perbuatan semena-mena. Andai dibalik kondisinya, tiba-tiba si
anak dicakar tanpa sebuah kesalahan diperbuat, hanya dikarenakan sebuah kondisi
yang disandang apakah rela sang orangtua?
Mendidik
anak bisa dikatakan mudah, bisa dikatakan sulit. Anak ibarat kanvas kosong yang
siap diisi oleh orangtuanya. Selain memenuhi kebutuhan dasar anak, yang saat
ini rupanya terlupakan oleh banyak orangtua muda adalah pengantar budi pekerti.
Aku
sendiri juga belum sepenuhnya ‘berhasil’
mengisi si kembar, namun paling tidak mereka mengerti bahwa tidak boleh
menyakiti orang/ anak lain. Mereka mengerti bagaimana berteman yang baik
selayaknya anak-anak.
Buat
aku excuse ‘namanya juga anak-anak’
tetap gak masuk akal. Apakah kegiatan mencakar adalah bagian dari proses
pertemanan?
Apakah
karena sebuah dasar ‘perbedaan’ atau
‘ketidaknormalan’ sehingga bisa dan
dibenarkan melakukan tindakan semena-mena?
Yuk,
temans, sahabat tercinta… bekali ananda dengan pembekalan mengenai perbedaan.
Kami ada diantara kalian, kami tidak minta diistimewakan, hanya beri kami ruang
yang sama dengan kalian.