Akhir pekan lalu, Ali - salah
satu keponakan bunda, hilang. Berusia 4,5 tahun. Lepasnya Ali dari pengawasan
ibu dan orang dewasa di sekitarnya adalah disaat kami berkunjung menjenguk ke
salah satu rumah keluarga yang sedang sakit.
Merasa bosan dengan ‘obrolan’ dan situasi yang membingungkan
bagi anak kecil, melihat penjual mainan melintas di depan rumah membuatnya
merasa tertarik. Tanpa sepengetahuan siapapun, melesatlah Ali mengikuti sang penjual
mainan. Dan rupanya hal tersebut membuatnya menjadi tersesat. Terlebih area
yang dijelajahi bukan merupakan area yang setiap hari dikenali.
Tersadar akan ‘raib’nya Ali
membuat kita semua menjadi panik, merasa waktu yang kami habiskan untuk
berkunjung tidak lebih dari 30 menit. Namun dalam waktu 30 menit tersebut
banyak yang bisa terjadi.
Kepanikan, bingung, sedih,
rasa bersalah, marah seketika menyelimuti benak orangtuanya dan tentunya kami
semua yang berada di sana. Segera mengatur strategi pencarian, membagi tugas
area pencarian, menugaskan untuk menyampaikan pengumuman melalui pelantang
suara di masjid, mencetak foto, menghubungi beberapa sanak keluarga, bertanya-tanya
kepada warga sekitar, semua kami lakukan.
Detik berganti menit berganti
jam, kegelisahan semakin menyeruak, cuaca yang tidak bersahabat dengan turunnya
hujan deras membuat kondisi semakin menggelisahkan. Berbagai pemikiran serta
merta berloncatan di dalam benak. Dering suara telpon selalu membuat terlonjak
hati dan harapan cemas, demikian apabila ada kerabat yang kembali dari area
pencariannya.
Hingga jelang malam tiba,
sekali lagi kami mengumandangkan pengumuman melalui pelantang suara di mesjid. Sekitar
setengah jam kemudian, datang dua remaja dengan langkah bergegas menghampiri
rumah kakak ipar bunda yang menjadi posko. Mereka menanyakan apakah benar kami
yang kehilangan seorang anak? Iya! Mereka menyampaikan bahwa di mesjid yang
baru saja mereka lalui juga mengumumkan bahwa telah ditemukan seorang anak. Barangkali
itu adalah anak yang kami cari. Seketika berhamburan dengan kencang diantar
oleh kedua remaja tersebut untuk melihat kemungkinan tersebut.
Dan,……….
Alhamdulillah sujud syukur
kami padaMU Ya Allah Ya Rabb. Anak itu benar keponakan bunda, Muhammad Ali
Fikri. Cukup jauh langkah kecilnya melangkah, sekitar 3km jauhnya dari kami.
Menjadi sebuah pelajaran
penting bagi kami semua, bahwa tidak boleh ada sedikit ruang lengah dalam
pengawasan terhadap anak. Menjadi teguran keras juga bagi bunda, yang terkadang
bersikap ‘sepele’ aaahhhh… si kembar
main kok disekitar sini @_@
Belum hilang rasa cemas ini
bergelayut, semalam melalui status seorang teman, menyuarakan kegundahannya
akan hilangnya seorang sanak keluarganya. Yang mengkuatirkan anak tersebut
adalah seorang penyandang Down Syndrome, yang mempunyai kesulitan berkomunikasi
dan berorientasi lingkungan.
Ikut merasakan kesedihan dan
memikirkannya :(
Mengaitkan kedua kejadian
ini, bunda kembali disentakkan akan sebuah diskusi yang sudah lama sekali. Bahkan
bunda sudah lupa dengan siapa saja waktu itu kami berdiskusi. Bunda hanya
mengingat materi diskusinya adalah “pemberian
identitas” pada balita dan anak berkebutuhan khusus (abk) yang belum memiliki kemampuan berkomunikasi atau berorientasi
dengan baik.
Diskusi tersebut menuai pro
dan kontra.
Apapunlah bentuk identitas
tersebut, mulai dari gelang berukir nama dan nomer kontak, id card yang
digantungkan pada lehernya atau disematkan di baju, maupun bentuk-bentuk
lainnya.
Yang pro karena memikirkan
bahwa lepasnya anak dalam pengawasan orang dewasa dengan memakaikan identitas
anak akan dengan mudah membantu orang yang menemukan anak tersebut. Namun yang
kontra memikirkan bahwa identitas tersebut bisa dengan mudah disalah gunakan
bagi siapapun yang kebetulan membaca.
So,….. apa pendapat kalian
wahai para orangtua yang baik hati dan tidak sombong ?
saya berada di tengah2 pro dan kontra, Mbak.
ReplyDeleteSy setuju dg yg kontra krn khawatir akan disalah gunakan oleh org yg gak bertanggung jawab. Zaman skrg gitu, lho.
Tp sy setuju jg dg yg pro. Anak perlu tau identitasnya. Kalo sy mencoba pelan2 mengajarkan kpd mereka, tapi selama ini blm kepikiran utk membuat sebuah benda sbg tanda identitas.
Sy terpikir kalaupun ada tanda identitas, mungkin jgn yg sp terlalu mencolok. Dan jgn semua identitas tertulis. Mungkin cukup nama dan no telp yg bs dihubungi
Kebayang bingungnya, kadang anak lepas dari pandangan mata ajah suka panik. Alhamdulillah Ali sudah ketemu ya.
ReplyDeleteAduh, untunglah ponakan ketemu. Saya stuju dg pemasangan id di tangan anak yg berkebutuhan khusus ato blm bisa berkomunikasi. Setidaknya memberi harapan bisa ditemukan
ReplyDeleteAnak saya sejak umur satu tahunan saya pakaikan medical tag kalau sedang bepergian terutama ke tempat yang ramai. Medical tag ini bentuknya sama persis dengan kalung tentara yg dari metal, cuma ada pinggiran karet supaya tidak melukai pemakai kalau tertekan dengan keras. Karena bentuknya kalung,medical tagnya tidak terlalu kelihatan kalau dipakai karena dimasukkan ke baju. Isinya : telp saya, nama anak, agama, kode negara (ina =indonesia), tanggal lahir, golongan darah beserta reshusnya dan penyakit yg perlu diwaspadai ( kalau anak saya asma dan alergi). Saya pesan via kaskus ke komunitas orang2 yg hobi army things.saya pikir ini perlu ya, apalagi jaman sekarang. Cukup save juga, orang kan bisa lihat kalau mereka buka baju anak kita, atau dia serahkan dengan sukarela.tinggal kita edukasi aja anak supaya tagnya dikasih kalau kondisi apa dan apa.
ReplyDelete